Pengertian dan Contoh Barang Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai (BTKPPN)

pengertian_dan_contoh_barang_tidak_kena_pajak_pertambahan_nilai__btkppn

Pajak tentu sangat akrab dengan kehidupan kita sebagai warga negara. Pajak juga ada banyak jenisnya, salah satu yang cukup dikenal luas adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak jenis ini dekat dengan masyarakat karena disadari atau tidak, barang yang kita pakai banyak yang terkena pajak jenis ini. Seperti namanya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pertambahan nilai yang dibebankan pada suatu barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Kewajiban untuk memungut pajak ini sekaligus menyetor dan melaporkannya adalah pedagang. Namun, pihak yang berkewajiban membayarnya adalah konsumen akhir. Oleh karena itulah biasanya ketika kita membeli suatu barang, ada tambahan biaya pajaknya. Beberapa barang dipisahkan penulisan harga pokok dan PPN-nya, namun beberapa pedagang juga langsung menambahkan PPN tersebut ke harga jual akhir.Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah semua barang terkena PPN? Nyatanya memang tidak semua barang dikenai PPN sehingga ada sebutan Barang Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai (BTKPPN). Lantas apa itu BTKPPN dan apa saja contohnya? Berikut penjelasan rincinya.

Pengertian Barang Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai (BTKPPN)

Sebelum membahas pengertian Barang Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai (BTKPPN), ada baiknya ketahui dahulu apa itu Barang Kena Pajak. Perlu diketahui bahwa semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak. Barang yang dikenai pajak itu bisa berupa barang berwujud seperti mobil, rumah, dan sebagainya atau barang tidak berwujud seperti hak cipta, hak paten, dan merek dagang.Seperti yang disinggung di atas bahwa semua barang pada prinsipnya terkena pajak, maka untuk barang yang tidak terkena pajak diatur secara khusus yaitu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa. Artinya, barang-barang yang tidak tergolong pada UU tersebut maka tergolong Barang Kena Pajak.Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, Barang Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai (BTKPPN) bisa diartikan sebagai barang-barang tertentu yang dalam penyerahannya dari produsen atau penjual ke konsumen akhir tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). BTKPPN ini biasanya berlaku pada barang-barang yang penggunaannya menyangkut hajat hidup orang banyak dan barang kebutuhan pokok. Dasar hukumnya sendiri diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM.

Dasar Hukum Barang Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai (BTKPPN)

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, BTKPPN berlaku atas dasar hukum berupa UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Pada UU ini tepatnya pasal 4A, berisi berbagai kategori tentang barang-barang yang tidak dikenai PPN atau bisa disebut negatif list. Dengan dibuatnya kategori negatif list, maka secara otomatis barang-barang lain yang tidak masuk kategori merupakan Barang Kena Pajak.Namun, perlu diperhatikan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 hanya menyebutkan kategori barang-barang yang tidak kena PPN tetapi tidak secara khusus menyebutkan spesifikasinya. Oleh karena itu, untuk memperjelas klasifikasinya  maka dibuatlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017. Peraturan menteri ini sendiri secara umum lebih menjelaskan tentang spesifikasi barang kebutuhan pokok yang tergolong tidak kena PPN.

Kategori dan Contoh Barang Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai (BTKPPN)

Mengacu pada UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017, maka kategori, spesifikasi, dan contoh Barang Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai (BTKPPN) adalah sebagai berikut.

  1. Barang Hasil Pertambangan atau Hasil Pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Contoh untuk kategori ini adalah sebagai berikut.
  • minyak mentah, 
  • gas bumi (bukan Elpiji), 
  • panas bumi, 
  • pasir dan kerikil, 
  • batu bara sebelum diproses menjadi briket, 
  • bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
  1. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Rincian untuk barang kebutuhan pokok ini adalah sebagai berikut.
  • Beras dan gabah, dengan kriteria berkulit, dikuliti, setengah giling atau digiling seluruhnya, dikilapkan atau tidak, pecah, menir, dan selain yang cocok untuk disemai.
  • Jagung, dengan kriteria telah atau belum dikupas, termasuk pipilan, pecah, menir, dan tidak termasuk bibit.
  • Sagu, dengan kriteria berupa sari sagu, tepung, tepung kasar, dan bubuk.
  • Kedelai, dengan kriteria berkulit, utuh ataupun pecah, dan selain benih.
  • Garam Konsumsi, dengan kriteria garam beryodium ataupun tidak.
  • Daging, dengan kriteria daging segar dari hewan ternak dan unggas baik dengan tulang atau tanpa tulang yang tidak diolah, baik yang diawetkan dengan cara didinginkan, dibekukan, dikapur, digarami, atau diasamkan.
  • Telur, dengan kriteria tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau diawetkan dengan cara lain, serta bukan termasuk bibit.
  • Susu, dengan kriteria susu perah baik yang didinginkan atau dipasteurisasi, serta tidak mengandung tambahan gula dan bahan lain.
  • Buah-buahan, dengan kriteria buah segar yang dipetik baik melalui proses pencucian, disortasi, dipotong, dirilis, digrading, yang selain dikeringkan.
  • Sayur-sayuran, dengan kriteria sayuran segar, yang dipetik, dicuci, disimpan pada suhu rendah, dan termasuk sayuran segar yang sudah dicacah.
  • Ubi-ubian, dengan kriteria baik ubi segar atau yang sudah diolah melalui pencucian, kupas, potong, iris, dan grading.
  • Bumbu-bumbuan, dengan kriteria baik berupa bumbu segar atau telah dikeringkan tetapi tidak dihancurkan atau ditumbuk.
  • Gula konsumsi, yaitu gula kristal putih asal tebu untuk tambahan perasa atau pewarna.
  1. Makanan dan minuman yang disajikan di Hotel, Rumah Makan, Warung, dan Sejenisnya. Kategori ini meliputi pula makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat ataupun tidak, termasuk yang diberikan oleh usaha jasa boga atau katering.
  1. Uang, emas batangan, dan surat berharga. Barang-barang ini tidak dikenai pajak karena nilai nominal dan nilai fisiknya berbeda. Apalagi jika dibandingkan dengan nilai intrinsiknya. Namun, perlu diperhatikan bahwa kategori ini tidak berlaku untuk emas berupa perhiasan.

Itulah penjelasan seputar Barang Tidak kena Pajak Pertambahan Nilai (BTKPPN). Jika barang tidak termasuk pada kategori yang sudah dijelaskan dalam UU ataupun Permen, maka sudah tentu barang tersebut dikenai pajak.


You Might Also Like