banner iklan

Pengertian, Prinsip, Dasar Hukum, Objek Pajak dan Subjek Pajak dalam BPHTB (Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan)

pengertian_prinsip_dasar_hukum_objek_pajak_dan_subjek_pajak_dalam_bpthb__bea_perolehan_atas_tanah_dan_bangunan

Baik berupa tempat tinggal atau tempat berusaha, tanah dan bangunan di atasnya sangatlah penting. Salah satu hal yang menyertai keberadaan tanah dan bangunan tersebut adalah tentang pajak atau dalam hal ini disebut bea. Mengapa disebut bea, bukan disebut pajak? Hal ini patut dipahami dahulu sebelum membahas lebih jauh tentang bea tanah dan bangunan.Bea memang berfungsi sama layaknya pajak. Tetapi terdapat pembeda utamanya yaitu soal waktu pembayaran. Bea merupakan pajak yang harus dibayarkan terlebih dahulu. Sebagai contohnya adalah pembeli tanah harus membayar bea sebelum terjadi transaksi atau sebelum penandatanganan akta. Kondisi ini serupa dengan materai dimana siapapun yang membelinya, berarti sudah membayar bea materai.Selain ciri di atas, bea juga berbeda dari frekuensi pembayarannya. Bea terutang bisa dilakukan secara insidental atau berkali-kali serta tidak terikat dengan waktu. Contohnya untuk membeli materai tempel, Anda bisa melakukannya kapan saja. Berbeda dengan membayar pajak penghasilan yang harus dilakukan sesuai waktu yang ditentukan.

Pengertian BPHTB (Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan)

BPHTB (Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan) merupakan jenis pajak yang harus dibayarkan saat membeli tanah, rumah, atau properti lain. Pungutan ini dikenakan karena ada pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pemindahan hak tersebut bisa terjadi karena proses jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, pemisahan hal yang mengakibatkan peralihan, pelaksanaan putusan hakim dengan kekuatan hukum tetap, penunjukan pembeli dalam lelang, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, atau karena hadiah.

Prinsip BPHTB (Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan)

Di dalam Pasal 3 ayat 3 UUD 1945, disebutkan dengan jelas bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini menjadi prinsip paling mendasar dari pemberlakuan BPHTB di Indonesia. Artinya, setiap orang yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, maka sewajarnya memberikan sebagian nilai ekonomi yang diperoleh kepada negara melalui pajak. Pajak ini juga yang nantinya digunakan kemakmuran rakyat secara luas.Namun selain prinsip paling mendasar tersebut, terdapat beberapa prinsip yang dianut sesuai UU BPHTB, yakni:

  • Kewajiban BPHTB yaitu sistem self assessment alias wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
  • Besaran tarif ditetapkan 5% dari NPOPKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak).
  • Agar UU BPHTB terlaksana efektif, maka Wajib Pajak atau pejabat umum yang melanggar ketentuan akan terkena sanksi sesuai undang-undang yang berlaku.
  • Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara. Sebagian besarnya diberikan ke Pemerintah Daerah untuk peningkatan pendapatan daerah tersebut.

Dasar Hukum BPHTB (Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan)

Keberadaan BPHTB didasarkan pada Undang-Undang khusus yaitu UU Nomor 21 Tahun 1997 juncto UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Ketentuan pajak tersebut lalu masuk dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) Pasal 85 sampai Pasal 93.Selain dasar hukum di atas, terdapat pula beberapa dasar hukum yang terkait lainnya, yaitu:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena waris dan hibah.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB.
  • Keputusan Menteri Nomor 561/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanag dan Bangunan. Peraturan ini terakhir diubah dengan PMK Nomor 14/PMK.03/2009.
  • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Peraturan ini juga telah beberapa kali diubah, dan yang terakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006.

Objek Pajak BPHTB (Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan)

Objek pajak BPHTB merupakan perolehan atas tanah dan bangunan karena suatu transaksi atau peralihan hak. Terdapat dua jenis peralihan hak ini yaitu melalui pemindahan dan pemberian.

  1. Pemindahan Hak

Hal-hal yang tergolong objek pajak melalui pemindahan hak yaitu meliputi:

  • Transaksi jual dan beli
  • Adanya tukar menukar
  • Hibah, yakni penetapan khusus tentang pemberian hak atas tanah atau bangunan kepada pribadi atau badan hukum.
  • Hibah wasiat, yakni penentuan wasiat khusus berupa pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pribadi atau badan hukum. Syarat untuk hibah wasiat ini adalah pemberiannya baru dilakukan ketika pemberi hibah sudah meninggal dunia.
  • Waris, yakni pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada garis keturunan langsung.
  • Pemindahan sebagian dari hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan ke sesama pemegang hak bersama lainnya.
  • Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi kepada badan hukum lain.
  • Penunjukan hasil dari lelang, yakni penetapan pemenang lelang yang dilakukan oleh pejabat lelang.
  • Pelaksanaan putusan hakim berkekuatan hukum tetap, yakni peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum kepada pihak yang ditentukan sesuai putusan hakim yang artinya sudah berkekuatan hukum.
  • Penggabungan usaha, yakni penggabungan dua atau lebih badan usaha tetapi tetap mempertahankan salah satu badan usaha dan likuidasi badan usaha lain yang ikut bergabung.
  • Pemekaran usaha, yakni memisahkan suatu usaha menjadi dua atau lebih dengan mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktivanya ke badan usaha baru tersebut.
  • Peleburan usaha, yakni penggabungan atas dua atau lebih badan usaha melalui pendirian badan usaha baru dan likuidasi badan usaha yang bergabung.
  • Hadiah, yakni penyerahan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai hadiah yang berkekuatan hukum  baik dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum.
  1. Pemberian Hak

Hal-hal yang termasuk objek pajak atas pemberian hak, yaitu meliputi:

  • Kelanjutan pelepasan hak, yakni pemberian hak baru atas tanah dan/atau bangunan dari negara kepada orang pribadi atau badan hukum.
  • Di luar pelepasan hak, yakni pemberian hak baru atas tanah dari negara atau pemegang hak milik kepada orang pribadi atau badan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Selain adanya objek pajak pada BPHTB, perlu diketahui pula beberapa objek yang tidak dikenakan BPHTB, yaitu:

  • Perwakilan diplomatik atau konsulat negara yang didasarkan pada asas perlakuan timbal balik.
  • Negara yang tengah melakukan pembangunan untuk kepentingan umum.
  • Badan atau perwakilan organisasi internasional yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri Keuangan.
  • Orang pribadi atau badan usaha dari konversi hak dan perbuatan hukum tanpa adanya perubahan nama.
  • Hasil dari wakaf atau warisan.
  • Tanah atau bangunan yang digunakan sebagai tempat ibadah.

Subjek Pajak BPHTB (Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan)

Subjek pajak yang dimaksudkan dalam BPHTB adalah orang pribadi atau badan usaha yang mendapatkan hak atas tanah dan bangunan. Artinya, subjek pajak BPHTB merupakan pihak yang menerima pengalihan hak, baik itu orang pribadi atau badan usaha. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban ini akan membayar pajak. Maka, mereka  disebut sebagai Wajib Pajak.Itulah penjabaran tentang Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan. Pemahaman akan jenis pajak ini sangat penting karena setiap aktivitas perusahaan dilakukan di atas atau di dalamnya. Dengan memahami BPHTB, diharapkan setiap perusahaan mampu mengelola asetnya dengan tanpa mengabaikan kewajiban kepada negara.


You Might Also Like