Pajak merupakan bentuk kewajiban pembayaran yang sangat erat dengan kita sebagai warga negara, baik dalam status pribadi atau badan usaha. Salah satu jenis pajak yang dibebankan tersebut adalah Pajak Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan merupakan kewajiban pembayaran kepada negara atas penghasilan yang didapat dalam satu tahun pajak. Penghasilan yang dimaksud dapat dalam bentuk gaji, upah, honorarium, hadiah, dan sejenisnya.
Terkait dengan Pajak Penghasilan, maka setiap penghasilan yang berbeda jenisnya akan diatur dalam jenis PPh yang berbeda pula. Salah satunya ialah PPh yang dikenakan atas penghasilan yang berasal dari modal, hadiah dan penghargaan, serta penyerahan jasa. Pajak yang seperti ini lebih akrab dikenal sebagai PPh pasal 23. Lantas, apa bedanya dengan pajak yang dibayarkan langsung ketika seseorang menerima penghasilan? Untuk menjawab hal ini, berikut adalah ulasannya.
Mengenal Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23)
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan jenis pajak yang dibebankan untuk penghasilan atas modal, hadiah, penghargaan, dan penyerahaan jasa selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Biasanya, PPh 23 ini akan dikenakan ketika ada transaksi antara dua pihak. Pihak yang dikenakan PPh 23 sendiri ialah yang menerima penghasilan atau yang memberi jasa. Tetapi, pajak akan langsung dipotong dan dilaporkan ke kantor pajak oleh pihak yang memberi penghasilan atau yang menerima jasa.
Sebenarnya, hampir semua penghasilan akan dikenakan PPh 23, mulai dari dividen, bunga, hadiah, royalti, penghargaan, sewa, bonus, penghasilan yang berhubungan dengan penggunaan harta, hingga imbalan atas jasa teknik, konstruksi, konsultan, manajemen, dan lainnya. Namun itu, ada pula beberapa penghasilan yang dikecualikan untuk PPh 23 ini, yakni:
Penghasilan yang terutang pada bank
Sewa yang terutang berhubungan dengan sewa guna usaha
Dividen yang diterima Perseroan Terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD dari penyertaan modal yang berkedudukan di Indonesia
Jika PPh 23 ini menyangkut hampir semua penghasilan. Lantas bagaimana dengan PPh Final?
Mengenal Pajak Penghasilan (PPh) Final
Pajak Penghasilan Final atau dikenal juga dengan nama PPh Pasal 4 ayat 2, merupakan pajak yang berlaku untuk jenis penghasilan bersifat final dan tidak bisa dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang. Disebut final karena pemotongan pajaknya hanya satu kali dalam masa pajak. Pajak Penghasilan Final (PPh Final) ini sendiri dikenakan secara langsung ketika Wajib Pajak menerima penghasilannya. Oleh karena dibayarkan secara langsung atau seketika, maka penghasilan PPh Final dikecualikan untuk pajak terutang tahunan. Oleh karena itu, PPh Final dianggap bisa meringankan beban administrasi Wajib Pajak untuk menunaikan kewajiban pembayaran pajaknya. PPh Final sendiri biasanya akan dibayarkan langsung oleh si Wajib Pajak.
Perlu diketahui pula bahwa Pajak Final dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas berbagai jenis penghasilan Wajib Pajak selama satu tahun berjalan. Namun begitu, PPh Final tetap harus dilaporkan di dalam SPT Tahunan. Artinya, perhitungan PPh Final hanya berdasarkan penghasilan bruto dikalikan tarif yang ditetapkan.
Lalu, apa saja objek PPh Final? Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, berikut adalah objek PPh Final beserta tarifnya.
Hadiah undian, dikenakan PPh sebesar 25%.
Bunga deposito dan jenis-jenis tabungan, dikenakan PPh sebesar 20%.
Bunga obligasi. Untuk bunga obligasi dengan kupon untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Badan Usaha Tetap, dikenakan PPh sebesar 15%. Sedangkan bunga obligasi dengan kupon untuk Wajib Pajak luar negeri non Badan Usaha Tetap, dikenakan PPh sebesar 20%.
Dividen Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dikenakan PPh sebesar 10%.
Bunga simpanan dari tabungan yang dibayar oleh koperasi pada anggota masing-masing dikenakan tarif 10%.
Peredaran bruto atau omzet penjualan dibawah 4,8 miliar rupiah dalam satu tahun pajak, dikenakan PPh sebesar 0,5%.
Usaha jasa konstruksi, dikenakan PPh sebesar 2-6%.
Transaksi saham termasuk penjualan saham atau pengalihan modal pada perusahaan mitra, dikenakan PPh sebesar 0,1%.
Persewaan tanah dan bangunan, dikenakan PPh sebesar 10%.
Transaksi penjualan saham pendiri dan saham bukan pendiri, dikenakan PPh sebesar 0,5% dan 0,1%.
Transaksi derivatif jangka panjang yang diperdagangkan di bursa efek, dikenakan PPh sebesar 2,5%.
Transaksi pengalihan harta atas tanah atau bangunan, dikenakan PPh sebesar 5%.
Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak tanah atau bangunan, dikenakan PPh sebesar 5%.
Pengalihan Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana oleh Wajib Pajak yang melakukan usaha pengalihan tersebut, dikenakan PPh Sebesar 1%.
Perlu diingat juga bahwa PPh Final dihitung secara langsung sebagai kesatuan tanpa dikaitkan dengan perhitungan penghasilan lainnya.
Perbedaan PPh 23 dan PPh Final
Setelah mengetahui penjelasan dari PPh 23 dan PPh Final di atas, maka bisa diketahui bahwa kedua PPh tersebut memang hampir serupa, namun ada beberapa perbedaan mendasar yang bisa dilihat. Pada PPh 23 bisa bersifat terutang dan dibayarkan pada akhir jatuh tempo pembayaran. Sedangkan PPh Final tidak bisa dikreditkan dengan PPh terutang lain. PPh 23 digunakan saat adanya transaksi antara pihak penerima penghasilan dan pihak pemberi penghasilan, sedangkan PPh Final digunakan saat Wajib Pajak menerima penghasilannya.
Selain perbedaan umum di atas, ada pula beberapa perbedaan yang lebih khusus. Sebagai contoh dalam konteks konstruksi. Pada PPh 23, yang terkena pajak ini adalah jasa konstruksi, sedangkan untuk PPh Final dikenakan untuk usaha jasa konstruksi. Usaha jasa konstruksi dan jasa konstruksi tidak bisa dianggap sama. Usaha jasa konstruksi merujuk pada usaha formal alias yang sudah mendapat sertifikasi bidang jasa konstruksi dan kualifikasi khusus. Sedangkan jasa konstruksi bisa menyangkut kegiatan yang lebih luas.
Contoh Cara Perhitungan PPh 23 dan PPh Final
Pajak Penghasilan 23
Contoh 1
PT. ABC pada 2 Agustus tahun 2019 membayarkan royalti pada Tuan X sebagai penulis novel. Pembayaran senilai Rp30.000.000 diberikan pada Tuan X yang juga diinformasikan sudah memiliki NPWP. Berdasarkan ketentuan UU, PPh 23 untuk royalti adalah sebesar 15%. Maka bisa diketahui perhitungan PPh 23 yang harus dibayarkan adalah sebagai berikut.
PPh 23 yang harus dibayarkan = Rp30.000.000 x 0,15 = Rp4.500.000
Waktu terutang untuk PPh 23 ini adalah pada 31 Agustus 2019. Sedangkan penyetoran paling lambat pada 10 September 2019 dan pelaporan paling lambat tanggal 20 September 2019.
Contoh 2
PT. ABC meminta jasa pada Tuan X untuk membuat software perusahaan dengan bayaran Rp50.000.000. Harga ini diinformasikan sudah termasuk PPN. Maka berdasarkan keterangan tersebut, PPh 23 yang harus dipotong oleh PT.XYZ ialah sebesar 2%. Maka perhitungan PPh 23 yang harus dibayarkan adalah sebagai berikut.
PPh 23 yang harus dibayarkan = Rp50.000.000 x 0,02 = Rp1.000.000.
Pajak Penghasilan Final
Tuan X memiliki bisnis dagang online. Pada Januari 2019, penghasilan kotornya adalah Rp20.000.000. Berdasarkan ketentuan UU, PPh Final untuk omzet tersebut adalah 0,5%. Maka, perhitungan PPh Final yang harus dibayarkan adalah sebagai berikut.
PPh Final yang harus dibayarkan = Rp20.000.000 x 0,5% = Rp100.000
Begitupun untuk bulan lainnya, omzet bulan bersangkutan dikalikan 0,5% untuk mendapatkan PPh Finalnya. Pajak ini sendiri harus dibayarkan setiap bulan dan disetor paling lama pada tanggal 10 bulan bersangkutan.