Ketika ada istilah Pajak Penghasilan atau PPh Final, sebenarnya itu sama dengan PPh Pasal 4 Ayat 2 dalam Undang-Undang PPh. Menurut definisinya, PPh Final adalah besaran pajak yang terkena tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diperoleh selama tahun berjalan.
Artinya, PPh Final dikenakan langsung ketika wajib pajak menerima penghasilan dan diserahkan langsung oleh wajib pajak. Itulah mengapa PPh Final tidak perlu diperhitungkan lagi dalam SPT tahunan, hanya perlu dilaporkan saja.
Dasar dari penerapan PPh Final adalah penyederhanaan pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha, serta mengurangi beban administrasi bagi wajib pajak. Artinya, pemerintah sengaja membedakan pajak penghasilan menjadi dua agar wajib pajak dapat memenuhi kewajiban dengan lebih leluasa.
Dengan demikian, PPh Final bisa diartikan sebagai pajak yang sudah tuntas. Sementara PPh Final yang masih bersifat Tidak Final justru kebalikannya, yaitu belum tuntas atau belum selesai.
Jenis-jenis PPh Final
Ada banyak jenis objek yang termasuk dalam PPh Final, seperti:
PPh Final atas Hadiah Undian
PPh Final atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
PPh Final atas Bunga Obligasi
PPh Final atas Bunga Deposito dan Tabungan, juga Diskonto Sertifikat BI
PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Bangunan dan/atau Tanah
PPh Final atas Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usahanya atau Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham
PPh Final atas Penghasilan yang diperoleh dari Usaha Jasa Konstruksi
PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estate yang termasuk dalam Skema Kontrak Investasi
PPh Final atas Penghasilan dari Sewa Tanah dan/atau Bangunan
PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran yang Bergerak Dalam Negeri
PPh Final atas Penghasilan WP Luar Negeri dengan Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia
PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Penerbangan Luar Negeri dan/atau Pelayaran
PPh Final Selisih Lebih Penilaian Kembali yang diperoleh atas Aktiva Tetap
Pasal Yang Masuk Dalam PPh Final
Berbicara tentang pasal yang masuk dalam PPh Final, pengertiannya adalah pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu yang sudah bersifat final. Jadi, tidak bisa dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang.
Terkait dengan pasalnya, PPh bisa berbeda tergantung pada pekerjaan, penghasilan, atau usaha yang dimiliki oleh setiap wajib pajak. Beberapa jenis pasal tersebut adalah:
PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 dapat berupa tunjangan, upah, gaji, honorarium, atau pembayaran dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan, jasa, serta kegiatan orang pribadi subjek pajak dalam negeri.
Subjek pajak dari PPh 21 adalah orang yang dikenai pajak atas penghasilannya atau penerima penghasilan itu sendiri. Kategorinya seperti pegawai maupun bukan pegawai, mantan pegawai, peserta kegiatan, penerima pesangon, dan anggota dewan komisaris.
PPh Pasal 22
Sementara PPh Pasal 22 menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan nomor 36 Tahun 2008 adalah bentuk pemungutan pajak satu pihak terhadap wajib pajak dan berhubungan dengan perdagangan barang. Pajak Penghasilan ini dikenakan pada badan-badan usaha tertentu, entah itu milik swasta atau pemerintah. Utamanya, mereka yang bergerak dalam bidang impor, ekspor, dan re-impor.
Jenis PPh Pasal 22 adalah cicilan ada tahun berjalan, artinya akan menjadi kredit pajak PPh badan maupun orang pribadi pada akhir tahun cicilan.
PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenai penghasilan atas penyerahan jasa, modal, hadiah, penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
Biasanya, PPh pasal 23 diterapkan ketika ada transaksi dua pihak antara pemberi jasa dengan pihak penerima penghasilan. Jika PPh 23 sudah dipotong, maka akan ada bukti potong dan harus diberikan oleh pihak pemotong.
PPh Pasal 29
Menurut Undang-Undang nomor 36 tahun 2008, PPh pasal 28 adalah PPh kurang bayar atau terutang dalam tahun pajak tersebut dikurangi kredit PPh 21, 22, 23, dan 25.
PPh Pasal 25
Sementara PPh pasal 25 merupakan pembayaran pajak penghasilan menggunakan skema angsuran. Tujuannya adalah agar wajib pajak bisa membayar pajak tahunan lebih ringan. Jika terlambat, sanksi atas keterlambatannya adalah bunga 2% per bulan sejak jatuh tempo.
Mekanisme Pembayaran PPh Final
Ada dua mekanisme yang bisa dilakukan untuk melakukan pembayaran PPh Final, yaitu:
Mekanisme pembayaran sendiri
Pada mekanisme pembayaran sendiri, artinya pajak final bernilai 10% dari uang sewa harus dibayarkan langsung oleh pihak pemilik tanah atau bangunan. Dengan demikian, pembayaran pajak tidak diwakilkan oleh pihak penyewa.
Mekanisme pemotongan
Dalam mekanisme pemotongan, penyewa harus memotong pajak penghasilan senilai 10% dari uang sewa yang disetorkan. Umumnya, mekanisme ini bisa diterapkan apabila penyewa berupa:
Penyelenggara kegiatan
Badan pemerintah
Bentuk usaha tetap
Kerja sama operasi
Perwakilan perusahaan luar negeri
Subjek pajak badan dalam negeri
Orang pribadi sesuai ketetapan Dirjen Pajak
Cara menghitung PPh final
Bagi pelaku usaha kecil dan menengah atau UMKM dengan omzet penjualan di bawah Rp4,8 miliar dalam periode 1 tahun, besar PPh Final adalah 0,5% dari total omzet penjualan yang diperoleh setiap bulannya.
Sebagai contoh, pihak pelaku UMKM hanya perlu membayarkan PPh Final setiap bulannya. Jangan lupa, lakukan validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara atau NTPN sebagai bukti pelaporan dan pembayaran PPh Final.
Setiap akhir bulan Maret pada periode tahun berjalan, barulah pelaku PPh Final melaporkan PPh Final yang diperolehnya dalam SPT Tahunan 1770.
Sementara wajib pajak badan, tetap harus melampirkan pelaporan dan pembayaran pajak final pada SPT Tahunan Badan yang jatuh tempo pada bulan April setiap tahunnya.
Cara perhitungannya pun sederhana, yaitu dengan menghitung perkalian antara nominal objek pajak dengan persentase tarif pajaknya.
Contoh: PPh Final atas usaha dengan omzet Rp 48 miliar dalam setahun. Omzet per bulannya adalah Rp100.000.000.
Maka menghitung PPh Final bisa dilakukan dengan cara:
Rp100.000.000 x 0,5% = Rp500.000
Penting untuk tahu kapan harus melakukan pembayaran PPh Final bagi pelaku bisnis apapun. Untuk tahu berapa nominal yang harus dibayarkan, maka perlu diketahui juga catatan transaksi keuangan per bulan hingga per tahun.
Caranya adalah dengan mencatat seluruh transaksi hingga diketahui berapa omzet atau penghasilan bruto per bulannya. Untuk memudahkan pencatatan, software bisnis terintegrasi berbasis cloud seperti Ukirama bisa jadi pilihan cermat.