PSAK atau yang juga dikenal sebagai pernyataan standar akuntansi keuangan mengatur tentang aturan-aturan sekaligus tata cara penghitungan, pengklasifikasian, serta pencatatan akuntansi di Indonesia. Pada tahun 2017 lalu, sebenarnya telah ada tiga PSAK baru yang dikeluarkan oleh DSAK atau Dewan Standar Akuntansi Keuangan. Namun, PSAK baru tersebut baru aktif digunakan pada tahun 2020 khususnya sejak bulan Januari lalu. Ketiga PSAK baru ini merupakan hasil adopsi sistem IFRS (International Reporting Standards) yang dipublikasikan oleh otoritas akuntan dunia, IASB (International Accounting Standard Board). Ketiga PSAK yang dikeluarkan oleh DSAK adalah PSAK 71, 72, dan 73.Secara rinci, masing-masing PSAK mengadopsi standar IFRS yang berbeda-beda. PSAK 71 mengadopsi IFRS 9 tentang instrumen keuangan, PSAK 72 mengadopsi IFRS 15 yang membahas tentang pendapatan kontrak pelanggan, sedangkan PSAK 73 mengadopsi IFRS 16 tentang sewa. Menurut Mardiasmo, Wakil Menteri Keuangan Indonesia, pengadopsian standar IFRS bertujuan untuk menyelaraskan atau menyesuaikan SAK (Standar Akuntansi Keuangan) dalam negeri dengan akuntansi dunia atau internasional. Walau telah dibuat dan dikeluarkan secara resmi oleh DSAK, tiga PSAK baru bisa diimplementasikan dengan sempurna apabila pihak entitas manajemen, auditor, dan stakeholder juga ikut berperan. Khususnya entitas manajemen, proses menyusun, menyajikan, sampai mempertanggungjawabkan laporan keuangan bisa sesuai dengan PSAK baru apabila pihak manajemen juga ikut berperan. Tiga arahan PSAK baru setidaknya harus bisa diterapkan secara merata hingga ke perusahaan kecil di daerah-daerah. Bila tidak, maka mereka akan mengalami kesulitan yang berujung pada dampak besar “Tsunami Akuntansi”. Tsunami Akuntansi juga disebabkan oleh kekeliruan interpretasi para auditor ketika tiga PSAK baru diterapkan secara serentak. Nah, untuk membantu Anda, berikut ini adalah ulasan detail dari tiga PSAK baru yang mengadopsi standar IFRS. Yuk, disimak!
PSAK 71
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) pertama yang dibuat untuk menyesuaikan dengan standar internasional adalah PSAK 71. PSAK ini secara khusus memberikan arahan tentang pengakuan serta pengukuran instrumen keuangan. PSAK 71 mengacu pada IFRS 9 dan akan mengganti PSAK 55 yang lebih dulu diterapkan di akuntansi Indonesia. PSAK 71 memang membahas tentang instrumen keuangan namun secara rinci, PSAK 71 juga membahas tentang pencadangan atas penurunan aset keuangan. Aset keuangan yang dimaksud baik berupa piutang, loan, hingga kredit. Proses penghitungan serta penyediaan cadangan dana ketika terdapat pinjaman yang tak tertagih telah diubah secara mendasar. Pada PSAK 55, kewajiban pencadangan baru muncul apabila peristiwa yang bisa menyebabkan gagal bayar (incurred loss) sudah terjadi. Sedangkan, pada PSAK 71, pencadangan harus sudah disiapkan sejak awal alias ketika kredit terjadi oleh korporasi. Maka dari itu, dasar dari pencadangan bukanlah incurred loss melainkan expected credit loss atau ekspektasi kerugian kredit yang bisa saja terjadi karena berbagai faktor di masa depan seperti prediksi ekonomi di tahun mendatang. Selain itu, arahan dari PSAK 71 juga berarti dana cadangan untuk kerugian harus disediakan oleh korporasi atas penurunan nilai kredit pada semua kategori pinjaman seperti lancar, ragu-ragu, dan macet. Pengubahan pada PSAK 55 sehingga melahirkan PSAK 71 adalah karena adanya kegagalan korporasi di sektor finansial. Salah satu alasan dibuatnya juga untuk mengantisipasi terjadinya krisis seperti krisis finansial 2008 ketika tsunami gagal bayar kredit terjadi. Djohan Pinnarwan, Ketua DSAK bahkan secara tegas mengatakan kalau di masa lalu, pencadangan kredit dianggap kecil dan terlambat sehingga tagihan tidak tertagih di masa depan tak terdeteksi di awal-awal kredit.
PSAK 72
PSAK 72 secara rinci membahas dan mengatur tentang Pengakuan Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan yang mana merupakan adopsi dari standar IFRS 15. Perlu diketahui bahwa IFRS 15 telah mulai diterapkan sejak bulan Januari tahun 2018 di Eropa. PSAK 72 mengganti banyak PSAK seperti PSAK 34 tentang Kontrak Konstruksi, PSAK 32 tentang Pendapatan, ISAK 10 tentang Program Loyalitas Pelanggan, hingga ISAK 27 yang membahas tentang Pengalihan Aset dan Pelanggan. Secara sederhana, PSAK 72 sebenarnya mengubah proses pengakuan pendapatan kontrak yang mulanya berbasis rule based atau rigid kini diubah menjadi principle based atau berbasis prinsip. Perbedaan yang paling mudah ditemukan dari PSAK sebelumnya adalah, PSAK 72 menegaskan bahwa pengakuan pendapatan kontrak dapat dilakukan secara perlahan sesuai umur kontrak (over the time) atau pada satu waktu, at a point. Namun, pengakuan pendapatan kontrak dengan cara ini tidak bisa diterapkan untuk semua jenis kontrak. Beberapa aspek syarat yang harus diperhatikan adalah manfaat oleh pelanggan, peningkatan nilai aset pelanggan, hingga tahap pembayaran kontrak yang telah disepakati bersama. Apabila ketiga unsur-unsur dari aspek syarat tersebut tidak terpenuhi, maka pengakuan pendapatan tak bisa dilakukan secara over the time melainkan secara at a point atau pada titik tertentu.
PSAK 73
Ini adalah PSAK terakhir yang mengadopsi IFRS 16 dan mengatur tentang urusan sewa. PSAK ini mengganti beberapa PSAK sebelumnya seperti PSAK 30 yang mengatur tentang sewa, ISAK 23 tentang Sewa Operasi, dan ISAK 25 yang mengatur HAK atas Tanah. Dari perspektif PSAK 72, maka korporasi penyewa harus mencatat dan membukukan semua transaksi sewa sebagai financial lease atau sewa finansial. Sedangkan, untuk sewa operasi atau operating lease hanya bisa dilakukan apabila sewa berjangka pendek atau kurang dari 12 bulan dan bernilai rendah. Misalnya, sewa laptop, printer, dan alat-alat sejenisnya. Selain itu, atas perubahan yang terjadi pada sewa finansial, maka segala transaksi sewa yang biasanya bisa off balance kini mau tak mau harus on balance. Hal ini karena perusahaan harus mencatat aset (sewa) dan kewajiban (sewa) dalam neraca. Dengan metode pencatatan seperti ini, maka rasio utang, rasio pengembalian aset, dan beberapa rasio lainnya akan berpengaruh. Diyakini, beberapa perusahaan akan mengalami perubahan besar-besaran karena mayoritas dari mereka masih menggunakan sewa operasi pada transaksi sewa. PSAK 73 secara tidak langsung akan membuat perusahaan melaporkan keuangan mereka secara faktual sesuai kondisi perusahan. Dengan begitu, keputusan manajemen akan lebih mudah dibuat karena informasi yang dihasilkan lebih akurat dan tepat.Contoh sederhananya adalah perusahaan penerbangan yang pesawatnya tidak pernah dicatat dalam neraca keuangan. Terlihatnya, rasio utang terhadap ekuitas kecil padahal sebaliknya karena terdapat kewajiban untuk membayar sewa jangka panjang yang tidak dicatat. Maka dari itu, PSAK 73 diyakini mampu secara tidak langsung membuat perusahaan melaporkan kondisi keuangan mereka dengan lebih aktual. Itu dia tiga PSAK baru yang diterbitkan DSAK dengan mengadopsi IFRS sebagai acuan standar. Penerapan tiga PSAK baru memang suatu tantangan, dan setiap perusahaan diharapkan mampu untuk mengimplementasikan secepat mungkin. Tiga PSAK di atas akan membuat proses pelaporan keuangan menjadi lebih baik untuk mengantisipasi beberapa kondisi perekonomian yang tidak diinginkan di masa depan seperti krisis finansial dan tsunami akuntansi. Semoga artikel ini bermanfaat untuk Anda, ya!